Batalkah Puasa dengan Berbekam dan Bercelak?
Batalkah Puasa dengan Berbekam dan Bercelak?
oleh : Ustadz Anas Hikmat
Bukhari membawakan Bab ‘Bekam dan Muntah bagi Orang yang Berpuasa‘. Beliau membawakan beberapa riwayat, di antaranya:
Riwayat pertama
وَيُرْوَى عَنِ الْحَسَنِ عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مَرْفُوعًا فَقَالَ أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ
Diriwayatkan
dari Al Hasan dari beberapa sahabat secara marfu’ (sampai pada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam). Beliau berkata, “Orang yang melakukan
bekam dan yang dibekam batal puasanya.” [Hadits ini juga dikeluarkan
oleh Abu Daud, Ibnu Majah dan Ad Darimi. Syaikh Al Albani dalam Irwa’
no. 931 mengatakan bahwa hadits ini shohih]
Riwayat kedua
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم
- احْتَجَمَ ، وَهْوَ مُحْرِمٌ وَاحْتَجَمَ وَهْوَ صَائِمٌ
Dari
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam berbekam dalam keadaan berihrom dan
berpuasa.
Riwayat ketiga
يُسْأَلُ
أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ - رضى الله عنه - أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ
الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ
لاَ . إِلاَّ مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ
Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu ditanya, “Apakah kalian tidak menyukai
berbekam bagi orang yang berpuasa?” Beliau berkata, “Tidak, kecuali jika
bisa menyebabkan lemah.”
Ketiga riwayat di atas adalah riwayat yang shohih.
Menurut
jumhur (mayoritas ulama) yaitu Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i,
berbekam tidaklah membatalkan puasa. Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu
Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Anas bin Malik, Abu Sa’id Al Khudri
dan sebagian ulama salaf.
Di antara alasan bahwa bekam tidaklah membatalkan puasa:
[Alasan
pertama] Boleh jadi hadits yang menjelaskan batalnya orang yang
melakukan bekam dan di bekam adalah hadits yang telah di mansukh
(dihapus) dengan hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu
Sa’id Al Khudri. Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
رَخَّصَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْقُبْلَةِ لِلصَّائِمِ وَالْحِجَامَةِ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang
yang berpuasa untuk mencium istrinya dan berbekam.” (HR. Ad Daruquthni,
An Nasa’i dalam Al Kubro, dan Ibnu Khuzaimah)
Ad
Daruqutni mengatakan bahwa semua periwayat dalam hadits ini
tsiqoh/terpercaya kecuali Mu’tamar yang meriwayatkan secara mauquf
-yaitu hanya sampai pada sahabat-. Syaikh Al Albani dalam Irwa’ (4/74)
mengatakan bahwa semua periwayat hadits ini tsiqoh/terpercaya, akan
tetapi dipersilihkan apakah riwayatnya marfu’ -sampai pada Nabi- atau
mawquf -sampai sahabat-
Ibnu Hazm mengatakan, “Hadits yang
menyatakan bahwa batalnya puasa orang yang melakukan bekam dan orang
yang dibekam adalah hadits yang shohih –tanpa ada keraguan sama sekali-.
Akan tetapi, kami menemukan sebuah hadits dari Abu Sa’id: “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang
yang berpuasa untuk berbekam“. Sanad hadits ini shohih. Maka wajib bagi
kita untuk menerimanya. Yang namanya rukhsoh (keringanan) pasti ada
setelah adanya ‘azimah (pelarangan) sebelumnya. Hadits ini menunjukkan
bahwa hadits yang menyatakan batalnya puasa dengan berbekam (baik orang
yang melakukan bekam atau orang yang dibekam) adalah hadits yang telah
dinaskh (dihapus).”
Setelah
membawakan pernyataan Ibnu Hazm di atas, Syaikh Al Albani dalam Irwa’
(4/75) mengatakan, “Hadits semacam ini dari berbagai jalur adalah hadits
yang shohih –tanpa ada keraguan sedikitpun-. Hadits-hadits ini
menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan batalnya puasa karena bekam
adalah hadits yang telah dihapus (dinaskh). Oleh karena itu, wajib bagi
kita mengambil pendapat ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hazm
rahimahullah di atas.”
[Alasan
Kedua] Pelarangan berbekam ketika puasa yang dimaksudkan dalam hadits
adalah bukan pengharaman. Maka hadits: “Orang yang melakukan bekam dan
yang dibekam batal puasanya” adalah kalimat majas. Maksudnya adalah
bahwa orang yang membekam dan dibekam bisa terjerumus dalam perkara yang
bisa membatalkan puasa. Yang menguatkan hal ini adalah hadits yang
diriwayatkan oleh ‘Abdur Rahman bin Abi Layla dari salah seorang sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الْحِجَامَةِ
وَالْمُوَاصَلَةِ وَلَمْ يُحَرِّمْهُمَا إِبْقَاءً عَلَى أَصْحَابِهِ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berbekam dan puasa wishol -namun
tidak sampai mengharamkan-, ini masih berlaku bagi sahabatnya.” (HR.
Abu Daud no 2374. Hadits ini tidaklah cacat, walaupun nama sahabat tidak
disebutkan. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud
mengatakan bahwa hadits ini shohih.)
Hadits
di atas menunjukkan bahwa bekam dimakruhkan bagi orang yang lemah jika
dibekam. Hal ini juga dikuatkan dengan riwayat lain dalam shohih Bukhari
dari Anas bin Malik sebagaimana telah disebutkan di atas.
أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لاَ . إِلاَّ مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ
“Apakah
kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?” Anas
mengatakan, “Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.” (HR. Bukhari
no. 1940)
Dengan dua
alasan di atas, maka pendapat mayoritas ulama dinilai lebih kuat yaitu
bekam tidaklah membatalkan puasa. Akan tetapi, bekam dimakruhkan bagi
orang yang bisa jadi lemas karena berbekam. Dan boleh jadi juga
diharamkan jika hal itu menjadi sebab batalnya puasa orang yang dibekam.
Hukum ini berlaku juga untuk donor darah. Wallahu a’lam.
7. Bercelak Dan Tetes Mata
Bercelak
dan tetes mata tidaklah membatalkan puasa. Alasannya telah dikemukakan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,
“Pendapat yang lebih kuat adalah hal-hal ini tidaklah membatalkan puasa.
Karena puasa adalah bagian dari agama yang perlu sekali kita mengetahui
dalil khusus dan dalil umum. Seandainya perkara ini adalah perkara yang
Allah haramkan ketika berpuasa dan membatalkannya, tentu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada kita. Seandainya
hal ini disebutkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu para
sahabat akan menyampaikannya pada kita sebagaimana syariat lainnya
sampai pada kita. Karena tidak ada satu orang ulama pun menukil hal ini
dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam baik hadits shohih, dho’if,
musnad (bersambung sampai Nabi) ataupun mursal (sanad di atas tabi’in
terputus), maka diketahui bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak menyebutkan perkara ini (sebagai pembatal). Sedangkan hadits yang
menyatakan bahwa bercelak membatalkan puasa adalah hadits yang dho’if
(lemah)”. (Majmu’ Fatawa, 25/234)
Bukhari juga berkata dalam kitab shohihnya tanpa menyebutkan sanad,
وَلَمْ يَرَ أَنَسٌ وَالْحَسَن وَإِبْرَاهِيم بِالْكُحْلِ لِلصَّائِمِ بَأْسًا
“Anas, Al Hasan, dan Ibrahim tidaklah menilai bermasalah untuk bercelak ketika puasa.”
Riwayat di atas dikuatkan oleh ‘Abdur Rozak dengan menyambungkan dan sanadnya shohih,
لَا بَأْس بِالْكُحْلِ لِلصَّائِمِ
“Tidak mengapa bercelak untuk orang yang berpuasa.” (Lihat Fathul Bari, 6/180, Maktabah Syamilah)
Beberapa riwayat hadits yang menjelaskan tidak batal puasa karna bercelak
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ قَالَ لَا بَأْسَ بِالْكُحْلِ لِلصَّائِمِ .
حَدَّثَنَا حَفْصٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إبْرَاهِيمَ قَالَ لَا بَأْسَ بِالْكُحْلِ لِلصَّائِمِ .
حَدَّثَنَا حَفْصٌ عَنْ عَمْرٍو عَنْ الْحَسَنِ قَالَ لَا بَأْسَ بِالْكُحْلِ لِلصَّائِمِ مَا لَمْ يَجِدْ طَعْمَهُ .
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ عَنْ إسْرَائِيلَ عَنْ جَابِرٍ عَنْ عَامِرٍ وَمُحَمَّدِ بْنِ
عَلِيٍّ وَعَطَاءٍ أَنَّهُمْ كَانُوا يَكْتَحِلُونَ بِالْإِثْمِدِ وَهُمْ
صِيَامٌ لَا يَرَوْنَ بِهِ بَأْسًا
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ خَالِدٍ عَنْ الْحَسَنِ وَعَنْ لَيْثٍ عَنْ
عَطَاءٍ قَالَ لَا بَأْسَ بِالْكُحْلِ
لِلصَّائِمِ .
حَدَّثَنَا
أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ أَبِي مُعَاذٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي
بَكْرٍ عَنْ أَنَسٍ أَنَّهُ كَانَ يَكْتَحِلُ وَهُوَ صَائِمٌ .
حَدَّثَنَا
زَيْدُ بْنُ حُبَابٍ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ وَأَبِي هِلَالٍ
وَقَتَادَةَ أَنَّهُمْ كَرِهُوا الْكُحْلَ لِلصَّائِمِ .
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ يُونُسَ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ كَانَ لَا يَرَى
بَأْسًا أَنْ يَكْتَحِلَ الرَّجُلُ وَهُوَ صَائِمٌ .
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ لَا بَأْسَ بِالْكُحْلِ لِلصَّائِمِ .
Referensi Utama:
- Shifat Shoum An Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam fi Ramadhon, Salim bin ‘Ied Al Hilaliy dan ‘Ali bin ‘Ali Abdul Hamid, Maktabah Al Islamiyah dan Dar Ibnu Hazm.
- Shohih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, Jilid 2, Al Maktabah At Taufiqiyah.
- Referensi lainnya adalah referensi tambahan.
Komentar
Posting Komentar